Minggu, 03 Juni 2012

artikel saya


Orang Awam Berandai
KOPI- Sudah lewat setengah abad Negara ini merdeka, namun masih saja para rakyat merasa tertindas dengan sikap yang tidak bijaksananya pemimpin bangsa ini. Sehingga terjadi paradigma yang kaya makin kaya dan yang miskin makin terpuruk. Menyikapi hal demikian saya selaku masyarakat kelas bawah mempunyai cita-cita unuk dipimpin oleh pemimpin yang bijaksana dan adil dalam membawa bangsa Indonesia lebih baik kedepannya.
Dalam agama kita yaitu agama islam ada al-quran dan hadits sebagai panduan didalam mengatur setiap langkah dan tatanan beragama itu sendiri, begitupun dengan bangsa kita yang mempunyai pancasila dan UUD 1945 sebagai panduan kita dalam menentukan segala bentuk yang berkaitan dengan kebaikan untuk Negara kita sendiri. Dengan demikian alangkah baiknya jika para pemerintah kita menganut dan mengikuti aturan yang telah dibuat didalam panduan Negara kita sebagai dasar Negara Indonesia. Didalam pancasila terdapat berbagai macam hal yang dijelaskan baik yang bersifat ketuhanan hingga kehidupan social didalam bermasyarakat, itu menunjukkan bahwa sebaiknya para pemimpin kita memakai pancasila untuk memimpin Negara ini untuk lebih baik lagi. Tidak heran lagi kalau sekarng rakyat sudah mulai memahami dan mulai mencemooh janji-janji yang diberikan oleh calon pemimpin negeri ini tapi pada akhirnya janji itu dimakan oleh para pemberi janji itu.
Sifat kekeluargaan, kegotong-royongan atau kebersamaan itu direkat dan dijiwai dengan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rasa keprimanusiaan, semangat persatuan, suasana musyawarah mufakat, dan rasa keadilan social. Itulah yang terkandung dalam Pancasila yang dianggap hakiki dan dirasakan riil dalam kehidupan masyarakat kita, terutama didaerah-daerah pedesaan. Dari situ tersimpul bahwa jika para pemimpin kita mampu dan memahami arti dari kelima sila kita ini maka kita akan mendapatkan seorang pemimpin yang bijaksana seperti yang saya harapkan. Dalam setiap undang-undang dasar selaluterdapat secara implicit dan eksplisit pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang melandasi penyelenggaraan Negara. Pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa Pancasila adalah Dasar Negara. Dengan perkataan lain Pancasila merupakan Dasar Falsafah Negara atau Ideologi Negara, Karena memuat norma-norma yang paling mendasar untuk mengukur dan menentukan keabsahan bentuk-bentuk penyelenggaraan Negara serta kebjaksanaan-kebijaksanaan penting yang diambil dalam proses pemerintah.
Dengan demikian jadilah bangsa kita ini bangsa yang berkembang dan mampu mencadi contoh bagi Negara-negara tetangga. Itulah harapan saya sebagai orang awam yang ingin dipimpin oleh seseorang yang berjiwa pemimpin yang bijaksana dan mempunyai hati nurani untuk membangun Negara menjadi lebih baik lagi kedepannya. 

By. Yupran Abadi

Rabu, 14 Maret 2012

Analisis Kesalahan Berbahasa Dalam Bidang Fonetik


Sebelumnya telah diketahui bahwa fonetik merupakan salah satu bidang ilmu yang membahasa hak-ikhwal pengucapan bunyi-bunyi bahasa atau fonem suatu bahasa. Kesalahan fonetis membuka kemungkinan terjadinya penafsiran pendengar terhadap makna ucapan itu. Fonem yang ada di dalam bahasa Indonesia yang diucapkan atau dilafalkan menurut sisitem yang berlaku sebagai berikut:
  1. Fonem jenis vokal
    /a/ seperti pada kata : api, padi, lusa
    /i/ seperti pada kata : itu, simpan, murni
    /o/ seperti pada kata : oleh, kota, toko
    /u/ seperti pada kata : ulang, bumi, ibu
    /e/ seperti pada kata : enak, petak, metode
  2. Fonem jenis diftong
    /ai/ seperti pada kata : pandai, pantai, ramai
    /au/ seperti pada kata : aula, saudara, harimau
    /oi/ seperti pada kata : amboi, sepoi, sekoi
  3. Fonem jenis Konsonan
    /b/ seperti pada kata : bahasa, sebut, adab
    /c/ seperti pada kata : cakap, kaca
    /d/ seperti pada kata : dua, ada, abad
    /f/ seperti pada kata : fakir, kafan, maaf
    /g/ seperti pada kata : guna, tiga, jajag
    /h/ seperti pada kata : hari, saham, tuah
    /j/ seperti pada kata : jalan, manja
    /kh/ seperti pada kata : khusus, akhir, tarikh
    /l/ seperti pada kata : lekas, alas, kesal
    /m/ seperti pada kata : maka, kami, diam
    /n/ seperti pada kata : nama, anak, daun
    /ng/ seperti pada kata : ngilu, angin, pening
    /ny/ seperti pada kata : nyata, hanya
    /p/ seperti pada kata : pasang, apa, siap
    /q/ seperti pada kata : quran, furqan
    /r/ seperti pada kata : raih, bara, putar
    /s/ seperti pada kata : sampai, asli, lemas
    /sy/ seperti pada kata : syarat, isyarat, arasy
    /t/ seperti pada kata : tali, mata, rapat
    /v/ seperti pada kata : varia, lava
    /w/ seperti pada kata : wanita, hawa
    /x/ seperti pada kata : xenon
    /y/ seperti pada kata : yakin, paying
    /z/ seperti pada kata : zeni, lazim

    Sesuai dengan sistem bahasa Indonesia , ketidaktepatan pengucapan atau melafalkan fonem-fonem di atas merupakan adanya gejala penyimpangan atau kesalahan berbahasa Indonesia. Pada umumnya kesalahan itu terjadi pada pengucapan fonem: /e/, /h/, /kh/, /k/, /p/, /f/, /s/, /sy/.
    Sehubungan dengan adanya kesulitan untuk membedakan bunyi e pada kata-kata seperti : enak, petak, turne dan emas, kena, metode. di sini akan digunakan dua macam tanda bunyi. yaitu /e? dan /E/. Kesulitan anda dalam menentukan pilihan diantara kedua betuk tersebut disebabkan oleh penggunaan huruf yang sama untuk ucapan yang berbeda. Dalam hal ini /e/ dan/E/ sama-sama dilambangkan dengan huruf e. Salah satu kamus yang dapat digunakan yaitu Kamus Umum Bahasa Indonesia.
    Hal kedua, kemungkinan anda memilih bentuk pengucapan diantara kedua bentuk tadi, di sebabkan kebiasaan anda mendengar para pemakai bahasa Indonesia mengucapkan kata tersebut pada umumnya. bedasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia kata-kata yang benar diantara lain :
    1. /peta/ bukan /pEta/
    2. /peka/ bukan /pEka/
    3. /seminar/ bukan /sEminar/
    4. /kEEsaan/ bukan kEesaan/
    5. /rEka/ bukan /rekan/
    6. /pEgang/ bukan /pegang/
Dari beberapa contoh dan penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa kesalahan ucapan ini di samping pada mulanya timbul karena pengaruh ucapan bahasa daerah atau dialek pemakai bahasa., timbul pula karena kesalahanpembaca mengucapakan dua buah bunyi bahasa yang berbeda yang dilambangkan dengan huruf yang sama, yaitu / e/. Kesalahan ucapan yang pada mulanya bersifar perorangan atau kelompok akhirnya bersifat menyeluruh, atau yang lazim disebut dengan istilah "salah kaprah".
Sekarang perhatikanlah pengucapan bunyi /h/ pada kata-kata berikut:
  1. Cat rumahnya berwarna hijau
  2. Mereka tidak memuja berhala
  3. Malam ini akan terjadi gerhana bulan.

Dari contoh diatas anda ketahui bahwa /h/ pada kata tersebut diucapkan secara jelas. lain halnya dengan /h/ pada kata-kata berikut :
  1. Obat ini pahit
  2. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1945
  3. Ayahnya seorang penjahit

Maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Bunyi /h/ diucapkan jelas dalam hal:
    1. bunyi tersebut menduduki posisi awal kata
    1. buyi tersebut menduduki awal suku kata di belakang suku tertutup yang mendahuluinya.
      1. bunyi tersebut menduduki posisi akhir suku kata
      2. bunyi tersebut diapait oleh vocal yang sama
  2. Bunyi /h/ tidak diucapkan dengan jelas bila bunyi tersebut diapit oleh dua vocal yang berbeda
  3. Bunyi /h/ yang terdapat pada kata-kata serapan diucapkan secara jelas

    Ada tiga macam kesalahan fonetis yang dilakukan yaitu:
  4. Penghasilan /h/ pada posisi awal kata
  5. Penghilangan /h/ pada posisi tengah kata
  6. Penghilangan /h/ pada posisi akhir kata
Kesalahan pengucapan juga sering terjadi pada kata /h/ dengan /kh/ atau /k/. Perhatikan contoh berikut ini:
  1. hewan - khewan - kewan
  • ahli - akhli - akli
  1. husus - khusus - kusus
  • ahir - akhir - akir
tarih - tarikh - tarik

Hal-hal yang menyebabkan kekacauan tersebut yaitu:
  1. Adanya bunyi yang hampir bersamaan dalam bahasa asal.
  2. Adanya pemakaian bunyi sentak yang sebenarnya tidak perlu diucapkan.

Bunyi /s/ dalam bahasa Indonesia sering dikacaukan pemakainnya dengan /sy/. Kekacauan ini timbul akibat adanya kata-kata serapan dari bahasa Arab yang mengandung kedua macam bunyi tersebut. contoh:
  1. /salam/ - /syalam/
    /insan/ - /insyan/
    /saraf/ - /syaraf/
  2. /shabat/ - /syahabat/
    /slat/ - /syalat/
    /insaf/ - /insyaf/

Selain itu, bunyi /s/ dalam pemakaian bahasa Indonesia dikacaukan pula dengan bunyi /z/. hal ini tamapak, mislanya pada pemakaian kata /asas/ atau /asasi/ menjadi /asazi/ atau /azazi/.
Kekacauan juga terjadi pada pengucapan bunyi /p/ dengan /f/. hal ini terjadi pada kata serapan yang mengandung bunyi tersebut. contoh:
  1. /pikir/ - /fikir/
  2. /sipat/ - /sifat/
  3. /transport/ - /transfor/
  4. /pantasi/ - /fantasi/
  5. /pisik/ - /fisik/
  6. /aktip/ - /aktif/

Menurut sebab-sebabnya, kesalahan berbahasa tersebut dapat digolongkan sebagai berikut:
  1. Kesalahan adaptasi, terjadi karena pemakai bahasa menyesuaikan kata-kata bahasa Indonesia menurut kemampuan fisiologis atau kebiasaan berbahasa dalam bahasa daerahnya.
  2. Kesalahan analogi, terjadi karena pemakai bahasa membuat kesalahan dalam mengambil contoh yang ada.
  3. Kesalahan hipokorek, terjadi karena pemakai bahasa berusaha memperbaiki pengucapan bahasa Indonesia yang sudah benar sehingga menjadi salah.

Menurut ciri-ciri perubahan ucapan, keslahan fonetis di atas dapat dibagi menjadi jenis-jenis kesalahan sesuai dengan gejala berikut:
  1. Protesis
    Menurut kesalahan ini pemakai bahasa menambah bunyi tertentu pada bagian awal kata, tanpa mengubah makna kata itu.
    Contoh:
    /alangan/ menjadi / halangan/
    /ampas/ menjadi /hampas/
  2. Efentesis
    Dalam kesalahan ini pemakai bahasa menambah bunyi tertentu ditengah kata, tanpa mengubah makna kata itu.
    Contoh:
    /gua/ menjadi /guha/
    /bauaya/ menjadi /buhaya/


  3. Paragog
    dalam kesalahan ini pemakai bahasa menambah buyi tertentu pada bagian akhir kata tanpa mengubah makna kata itu.
    Contoh:
    /mampu/ menjadi /mampuh/
    /rapi/ menajdi /rapih/
  4. Aferesis
    Dalam hal ini pemakai bahasa menghilangkan bunyi awal kata yang harus diucapkannya tanpa mengubah makna kata itu.
    Contoh:
    /hitam/ menjadi /itam/
    /hidup/ menjadi /idup/
  5. Sinkop
    Dalam kesalahan ini pemakai bahasa menghilangkan bunyi tertentu ditengah kata,, tanpa mengubah makna kata itu.
    Contoh:
    /bahumEmbahu/ menjadi /bahumEmbau/
    /pEndidikan/ menjadi /pEndid'an/
  6. Apokop
    Disini pemakai bahasa menghilangkan ucapan bunyi akhir kata tanpa mengubah makna kata itu.
    Contoh:
    /jodoh/ menjadi /jodo/
    /bodoh/ menjadi /bodo/
  7. Asimilasi
    Dalam hal ini adanya dua bunyi yang berbeda, oleh pemakai bahasa dijadikan bunyi yang sama.
    Contoh:
    /bEnar/ menjadi / bEnEr/
    /sEgan/ menjadi /sEgEn/

  8. Disimilasi
    dalam hal ino bunyi yang sama dijadikan tidak sama.
    Contoh:
    /harap/ menjadi /harEp/
    /pantas/ menjadi /pantEs/

Analisis Kesalahan Bahasa Dari Segi Fonologi

A. Deskripsi dan Identifikasi Kesalahan Bahasa dari Segi Fonologi
Kesalahan berbahasa merupakan proses peristiwa inheren dalam setiap pemakaian bahasa baik secara lisan maupun tulis. Perbedaan kesalahan bersumber dari 1) perbedaan kaidah-kaidah grametika yang pada gilirannya juga menimbulkan perbedaan realisasi pemakaian bahasa yang dilakukan. 2) perbedaan untuk penguasaan untuk menghasilkan atau menyusun tuturan yang sesuai dengan konteks komunikasi.
Kesalahan bahasa dari segi fonologi merupakan kesalahan dalam pengucapan tau penuturan. Dalam fonologi ada dua aspek yaitu dari segi fonetik dan fonemik.
Fonetik merupakan kajian bunyi yang tidak memperhatikan arti, sedangkan fonemik adalah kajian bunyi yang memperhatikan arti.

1. Fonetik
Kesalahan-kesalahan dari segi fonetik biasanya karena beberapa hal sebagai berikut :
Konsonan yang ada dalam bahasa Arab tidak ada dalam bahasa Indonesia
a. Tsa ( ث) yang diprediksikan =/Apikointerdental /geseran /td bersuara/
b. Dzal ( ذ) yang dideskripsikan =/Apikointerdental /geseran /bersuara
c. Dzo ( ظ) yang dideskripsikan =/Apikointerdental /geseran /bersuara /tebal
d. Shod ( ص) yang dideskripsikan =/Apikodental /geseran/ td bersuara /tebal
e. Tho ( ط) yang dideskripsikan =/Apikoalveolar /letupan /bersuara /tebal.
f. Ra ( ر) yang dideskripsikan =/Apikopalatal /geseran /sampingan/bersuara/tebal/
g. L ( ل) yang dideskripsikan =/Apikopalatal /geseran /sampingan /bersuara/tebal/
h. Dhot ( ض) dideskripsikan =/pikopalatal /geseran /bersuara /sampingan /tebal/
i. Ha ( ح) yang dideskripsikan =/Pharyngal /geseran /td bersuara/
j. Ain ( ع) yang dideskripsikan =/Pharyngal /geseran /td bersuara/
Diprediksikan siswa akan membuat kesalahan berat dalam menuturkan bunyi-bunyi diatas, karena mereka tidak terbiasa menuturkan bunyi bahasa Arab tersebut. Oleh sebab itu, seorang guru atau tutor tahsin qiraah dituntut untuk mengadakan latihan ektra guna meyakinkan bahwa siswa telah mampu menuturkan bunyi bahasa Arab tersebut dengan baik.
Konsonan yang ada dalam bahasa Indonesia, tidak ada dalam bahasa Arab
a. P Konsonan ini dideskripsikan =/bilabial /letuoan /td bersuara/
b. V Konsonan ini dideskripsikan =/labiodental /geseran /bersuara/
c. C Konsonan ini dideskripsikan =/mediopalatal /letupan /td bersuara/
d. Ny Konsonan ini dideskripsikan =/mediopalatal /geseran /bersuaa /Nasal
e. Ng Konsonan ini dideskripsikan =/Dorsovelar /geseran /bersuara /nasal
Diprediksikan dengan tidak sengaja, sewaktu-waktu siswa akan membuat kesalahan fatal dalam menuturkan bunyi-bunyi bahasa Arab yang mirip dengan bunyi-bunyi bahasa Indonesia di atas. Ketika seorang siswa bertemu dengan huruf (‘ain) dalam (____عالمين_) umpamanya, dengan tidak sengaja, dia akan terbawa untuk menuturkannya dengan (ng) menjadi (ngalamin) karena mereka telah terbiasa menuturkan bunyi-bunyi tandingan tersebut. oleh sebab itu, seorang guru atau tutor thsin qiraah dituntut untuk mengadakan latihan ektra guna meyakini bahwa siswa telah mampu dan biasa menuturkan bunyi bahasa Arab tersebut dengan baik dan sudah tidak terbawa untuk menuturkan bunyi tandingan tersebut.
2. Fonemik
Kesalahan-kesalahan yang terjadi sehingga bisa mempengaruhi arti dari bahasa tersebut.
Misalnya :
صا ر, سا ر
كلب, قلب
جوهرُ, جوهرْ
قا دم, قديم
Pada dua kata pertama sering terjadi kesalahan dalam pengucapan, kata صا ر jika terjadi kesalahan menjadi سا ر maka artinya menjadi begitu berbeda dari kata menjadi berubah arti menjadi kata berjalan.
Pada dua kalimat kedua jika terjadi kesalahan maka arti kata tersebut berubah jauh berbeda antara kata anjing dan hati.
Pada dua kata ketiga jika terjadi kesalahan dalam penggucapan sedikit saja maka artinya berbedah dari kata mutiara menjadi kata esensi.
Pada dua kata terakhir tersebut sering terjadi kesalahan dalam pengucapan, jika terjadi kesalahan maka artinya menjadi kebalikannya dari kata akan datang menjadi kata masa lampau.
B. Pengoreksian Kesalahan
Menurut Walz (1982) mengklasifikasikan prosedur koreksi dalam bahasa lisan menjadi tiga kategori, yaitu :
1) Koreksi Diri Sendiri dengan Guru
Ada berbagai bentuk pengoreksiannya. Misalnya guru dapat mengulangi responsasi sang pelajar sampai pada wadah kesalahan yang telah dibuat pelajar, meragu-ragukan dan melebih-lebihkan kata yang terakhir sedikit dengan intonasi menarik.
Guru dapat juga menjelaskan kata kunci dengan cara menulis kata sukar di papan tulis jika kata tersebut merupakan sumber keraguan dan kebinggungan serta kesalahan pelajar. Guru juga bisa melakukan koreksi dengan jelas dan halus dengan cara mengulangi ucapan pelajar dan melakukan perbaikan, tetapi cara ini kebanyakan hanya sebagian yang bisa menyadari kesalahannya tapi sebagian yang lain tidak memperhatikan. Ataupun guru bisa langsung melakukan koreksi secara formal.
2) Koreksi Sesama Teman
Guru dapat menyajikan pertanyaan-pertanyaan wawancara kepada para pelajar, bentuk pertanyaan harus sesuai dan tepat bagi para pelajar, kemudian wawancara tersebut di lakukan antar teman dan pelajar diharuskam melakukan pengoreksian sesama teman,tetapi sebelumnya guru memberikan kunci jawaban tersebut.
3) Koreksi Guru
Koreksi guru dapat dilakukan dua cara, yaitu :
Guru menyediakan jawaban yang benar, sebelum guru mengajukan pertanyaan kepada pelajar dan memprediksikan kira-kira kesalahan yang terjadi dalam pengucapan.
Guru juga dapat melakukan koreksi dengan cara langsung. Menunjukkan kapada pelajar kesalah-kesalahan yang dibuat.

Minggu, 04 Maret 2012

Kalimat Deskripsi

Paragraf deskripsi adalah paragraf yang bertujuan untuk memberikan kesan/impresi kepada pembaca terhadap objek, gagasan, tempat, peristiwa, dan semacamnya yang ingin disampaikan penulis. Atau secara singkat paragraf deskripsi bisa diartikan sebagai paragraf yang isinya menggambarkan suatu objek sehingga sehingga pembaca bisa seolah-olah melihat dan merasakan apa yang tertulis dalam paragraf tersebut.
 
 
Beriktu ini adalah contoh paragraf deskripsi:
 
"Pemandangan Pantai Parangtritis - Yogya sangat mempesona. di sebelah kiri terlihat tebing yang sangat tinggi dan di sebelah kanan kita bisa melihat batu karang besar yang seolah-olah siap menjaga gempuran ombak yang datang setiap saat. Banyaknya wisatawan yang selalu mengunjungi Pantai Parangtritis ini membuat pantai ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Di pantai Parangtritis ini kita bisa bermain pasir dan merasakan hembusan segar angin laut. Kita juga bisa naik kuda ataupun angkutan sejenis andong yang bisa membawa kita ke area karang laut yang sungguh sangat indah. Disore hari, kita bisa melihat matahari terbenam yang merupakan momen sangat istimewa melihat matahari yang seolah-olah amsuk ke dalam hamparan air laut"
 
1.      Deskriptif sugestif
Jenis karangan ini berusaha untuk menciptakan suatu penghayatan terhadap objek melalui imajinasi para pembaca. Pengalaman atas objek itu harus menciptakan kesan atau interprestasi. Rangkaian kata-kata yang dipilih oleh penulis untuk menggambarkan ciri, sifat, atau watak objek tersebut diciptakan sugesti tertentu pada pembaca. Dengan kata lain deskripsi sugestif berusaha untuk menciptakan suatu penghayatan terhadap objek melalui imajinasi para pembaca.
Misalnya, deskripsi tentang keadaan di hutan yang sepi dan terdengar bunyi-bunyi atau suara binatang, ketenangan sebuah dusun.
Contoh :
Gedung sekolah ini terletak di tepi jalan, tetapi tidak terasa bising. Kelas-kelasnya jauh dari jalan dan kendaraan tidak terlalu banyak yang lewat ke sana. Bangunan kuno yang berdiri sejak lima puluh tahun lampau ini, kini masih terlihat kokoh karena terpelihara dan terawat dengan baik. Pohon-pohon besar mengelilingi gedung sekolah itu membuat udara sejuk di sekitar itu.
 
2.    Deskriptif teknis atau ekspositoris.
     Deskripsi teknis atau ekspositoris menciptakan agar pembaca dapat mengenalinya bila bertemu atau berhadapan dengan suatu objek. Misalnya, deskripsi tentang keadaan suatu ruang atau tempat.
     
      Contoh :
Kamar tidurku tidaklah luas hanya berukuran 3 x 4. Semua barang-barang tertata rapi di dalamnya. Tempat tidur diletakkan di pojok kanan dari pintu masuk. Meja belajar ditata di depan jendela. Sedangkan lemari pakaian diletakkan di sebelah kiri tempat tidur.
 

Senin, 27 Februari 2012

PERANAN PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA TERHADAP PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA


A. Konsep Pemerolehan Bahasa
Sejak tahun 1979 dunia pendidikan di Indonesia berkenalan dengan pembedaan antara hasil instruksional berupa kompetensi pebelajar atas pengetahuan dan keterampilan dalam ranah intelektual, emosional, dan fisik (psikomotor), dan hasil pengiring (nurturent effect), serta nilai (value). Pelajaran yang dapat dipetik dari konsep ini ialah ada sesuatu yang diperoleh siswa dari apa yang diajarkan guru atau dipelajari siswanya.
Hal tersebut sejajar dengan munculnya pembedaan antara konsep pembelajaran (learning) dan pemerolehan (acquisition) bahasa. Istilah "pemerolehan" terpaut dengan kajian psikolinguistik ketika kita berbicara mengenai anak-anak dengan bahasa ibunya. Dengan beberapa pertimbangan, istilah pertama dipakai untuk belajar B2 dan istilah kedua dipakai untuk bahasa ibu (B1). Faktanya, belajar selalu dikaitkan dengan guru, kurikulum, alokasi waktu, dan sebagainya, sedangkan dalam pemerolehan B1 semua itu tidak ada. Ada fakta lain bahwa dalam memperoleh B1, anak mulai dari nol; dalam belajar B2, pebelajar sudah memiliki bahasa.
Dengan "mesin" pemerolehan bahasa yang dibawa sejak lahir anak mengolah data bahasa lalu memproduksi ujaran-ujaran. Dengan watak aktif, kreatif, dan inofatif, anak- anak akhirnya mampu menguasai gramatika bahasa dan memproduksi tutur menuju bahasa yang diidealkan oleh penutur dewasa. Anak memiliki motivasi untuk segera masuk ke dalam lingkungan sosial, entah kelompok sebaya (peer group) atau guyup (community).
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167). Hal ini perlu ditekankan, karena pemerolehan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pembelajaran (Cox, 1999; Musfiroh, 2002)
bahasa,
aktivitas dibawah
perintah guru
4. Koreksi kesalahan sangat penting
untuk
mencapai
tingkah
penguasaan
5. Belajar merupakan proses sadar untuk
menghafal kaidah, bentuk, dan
struktur
6. Penekanan pada kemampuan produksi
mungkin dihasilkan dari ketertarikan
pada tahap awal.
4. Kesalahan merupakan hal yang
wajar
5. Pemerolehan merupakan proses
bawah
sadar dan terjadi melalui pemajanan dan masukan yang dapat dipahami anak
6. Penekanan
pada
tumbuhnya
kecakapan
bahasa secara
alamiah
Perbandingan Pembelajaran Bahasa dengan Pemerolehan Bahasa
Sofa (2008) juga mengemukakan bahwa proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya.
Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik ditambahkan, bahwa pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1).
Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
Selain aspek kognitif anak, pemerolehan bahasa pertama juga memiliki hubungan yang erat dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-
benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat.
Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa melalui bahasa khusus bahasa pertama (B1), seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
B. Strategi dan Tahap Pemerolehan Bahasa Pertama
Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan.Kompetens i adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa.
Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi.
Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167).
Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahasa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243- 244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini.
Sofa (2008) mengemukakan bahwa terdapat empat strategi pemerolehan bahasa
pertama anak. Berikut ini diuraikan keempat strategi tersebut:
1. Tirulah apa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, yaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat delayed imitation dan imitasi dengan perluasan atauim itation
with expansion, red
2. Strategi produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang telah Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan” sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung
berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi.
3. Berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel yang lebih banyak, yaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan.
4. Prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum untuk memikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendiri oleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakan dalamavoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturan kembali.ucedim itation.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapatlah dikatakan bahwa pemerolehan bahasa bukan hanya diperoleh secara otomatis, tetapi juga melajui beberapa strategi pemerolehan bahasa pertama anak. Selain itu, proses pemerolehan bahasa pertama juga bisa diketahui dengan melihat tahapan-tahapan dalam pemerolehan bahasa pertama. Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Safriandi (2008) berikut ini, bahwa B1 diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia. Lebih lanjut dikatakan bahwa tahap-tahap pemerolehan bahasa pada aspek tahapanlinguis tik yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan(babbling); (2) tahap satu kata(holofr as tis ); (3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech).
C. Strategi dan Faktor Pemerolehan Bahasa Kedua
1. Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua
. Pembelajaran bahasa kedua adalah proses memahaminya seorang atau lebih individu terhadap suatu bahasa setelah bahasa yang terdahului dikuasai sampai batas tertentu. Dengan demikian, belajar bahasa kedua berarti belajar menguasai bahasa yang kedua dipajankan kepada mereka. Umumnya hasil belajar bahasa kedua tidak sebagus hasil belajar bahasa pertama. Meskipun demikian, pada anak-anak, menurut Paivio dan Begg (1981). proses belajar itu terjadi dengan sangat cepat dan lancar, terutama karena otak mereka masih sangat peka menerima rangsang bahasa.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Menurut Sofa (2008) bahwa orang dewasa mempunyai dua cara yang berbeda mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua.
a. Pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.
b. Untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan
belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Namun, pada dasarnya Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa.
Selain pembedaan pemerolehan dan pembelajaran yang dikemukakan di atas, Sofa (2008) juga memberikan batasan pembedaan pada pemerolehan dan pembelajaran dalam lima hal sebagai berikut.
a. Pemerolehan: memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal,
b. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.
c. bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran
mengetahui bahasa kedua,
d. mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat
pengetahuan secara eksplisit,
e. pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran
menolong sekali.
Terdapat dua cara pemerolehan bahasa kedua, yaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah.Per tam a, pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya.Kedua, pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan,guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja.
Keberhasilan belajar bahasa kedua, menurut Steinberg (2001:238), dipengaruhi oleh strategi yang digunakan pembelajar, yakni (1) verifikasi, adalah mengecek apakah hipotesis mereka tentang bahasa tersbut benar, (2) pemrosesan induktif, yakni menyusun hipotesis tentang bahasa kedua dengan dasar pengetahuan mereka pada bahasa pertama, (3) alasan deduktif, yakni menggunakan logika umum dalam memecahkan masalah, (4) praktik, yakni kegiatan mengulang, berlatih, dan menirukan, (5) memorasi atau mengingat, yakni strategi mnemonic dan pengulangan untuk tujuan menguatkan penyimpanan dan pengambilan (storage and retrieval), (6) monitoring, yakni berani membuat kesalahan dan memberi perhatian pada bagaimana pesan diterima oleh petutur.
Sofa (2008) mengemukakan lima strategi pemerolehan bahasa seperti berikut ini.
a. Gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa, Strategi pertama ini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA) sebesar 5. Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau dapat
merembes pada diri anak-anak.
b. gunakan apa saja atau segala sesuatu yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka yaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil, jam). Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa, bentuk).
c. anggaplah bahwa bahasa dipakai secara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama secara proporsional mencakup lebih banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda. Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu, sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi.
d. amatilah bagaimana caranya orang lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling berhubungan.
e. ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar 3 tahun.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Bahasa Kedua
Keberhasilan pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh enam faktor. Pertama, faktor motivasi. Belajar bahasa yang dilandasi oleh motivasi yang kuat, akan memperoleh hasil yang lebih baik. Motivasi, dalam perspektif ini meliputi dorongan, hasrat, kemauan, alasan, atau tujuan yang menggerakkan seseorang untuk belajar bahasa. Motivasi berasal dalam diri individu, yang dapat digolongkan sebagai motivasi integratif dan motivasi instrumen. Motivasi integratif berkaitan dengan keinginan untuk menjalin komunikasi dengan penutur, sedangkan motivasi instrumen mengacu pada keinginan untuk memperoleh prestasi atau pekerjaan tertentu.
Kedua, adalah faktor lingkungan, meliputi lingkungan formal dan informal. Lingkungan formal adalah lingkungan sekolah yang dirancang sedemikian rupa, artifisial, bagian dari pengajaran, dan diarahkan untuk melakukan aktivitas yang berorientasi kaidah (Krashen, 2002). Lingkungan informal adalah lingkungan alami dan natural yang memungkinkan anak berinteraksi dengan bahasa tersebut. Menurut Dulay (1982), lingkungan informal, terutama teman sebaya, memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam proses pemerolehan bahasa. Selain itu, lingkungan yang diperkaya pun sangat membantu anak menguasai bahasa. Tersedianya materi-materi cetak, buku-buku bergambar, dan media-media yang setiap saat dapat dilihat anak merupakan bagian dari lingkungan yang diperkaya.
Ketiga, adalah usia. Anak-anak, menurut Lambert (1972) memiliki peluang untuk mahir belajar bahasa. Mereka masih berada pada masa umur kritis berbahasa (Allan & Paivio, 1981). Dalam hal pelafalan, anak-anak memiliki peluang untuk berbicara secara fasih, meskipun aturan berbahasa harus mereka bangun secara natural (Brewer, 1995)
Keempat, adalah kualitas pajanan. Materi pembelajaran yang dipajankan secara natural memberikan makna bagi anak dalam kehidupan sehari-hari. Di lain pihak, pajanan yang disajikan secara formal membuat anak menguasai kaidah secara relatif cepat, meskipun mungkin mereka tidak dapat mengeskpresikan penguasaannya dalam komunikasi yang natural (Ellis, 1986).
Kelima, adalah bahasa pertama. Jika bahasa pertama memiliki kedekatan kekerabatan dengan bahasa kedua, pembelajar mempunyai kemudahan mengembangkan kompetensinya. Meskipun demikian, kemungkinan percampuran kode lebih mudah terjadi, sebagaimana banyak ditemukan percampuran kode dalam tuturan anak-anak Taman Kanak-kanak di DIY (Musfiroh, 2003).
Keenam, adalah faktor intelligensi. Walaupun belum terbukti secara akurat dan bertentangan dengan teori multiple intelligences, diduga tingkat kecerdasan anak mempengaruhi kecepatan pemerolehan bahasa keduanya. Menurut Lambert, anak-anak bilingual memiliki performansi yang secara signifikan lebih baik daripada anak-anak monolingual, baik pada tes inteligensi verbal maupun nonverbal (Lambert, 1981:154).
D. Peranan Bahasa Pertama dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Telah dipaparkan sebelumnya mengenai beberapa konsep dasar serta strategi dalam pemerolehan bahasa pertama (B1) dan pembelajaran bahasa kedua (B2). Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, yaitu pengaruh pada urutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat, dan pengaruh bahasa pertama walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil).
Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan dalam Sofa (2008) bahwa bahasa pertama mempunyai pengaruh positif yang sangat besar terhadap bahasa kedua sebesar 4 – 12 % dari kesalahan-kesalahan dalam tata bahasa yang dibuat oleh anak-anak berasal dari bahasa pertama, sebesar 8 – 23 % merupakan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh orang dewasa. Mayoritas kesalahan- kesalahan tersebut lebih banyak dalam susunan kata daripada dalam morfologi. Bidang yang sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa pertama adalah pengucapan. Anak-anak memproses sistem bunyi baru melalui pola-pola fonologis bahasa pertama pada tahap-tahap awal pemerolehan bahasa kedua, tetapi secara berangsur-angsur mereka bersandar pada sistem bahasa kedua dan aksen atau tekanan (logat) mereka pun menghilang.

 Oleh : Hasnariyanti Syafna